Nama : Dhenok annisawati
kelas : 1EB25
NPM : 22213322
- Bandung
Analisis ekonomi Kota Bandung akan berkaitan erat dengan perkembangan daerah sekitarnya (Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung) serta Kota Jakarta. Bahkan kegiatan ekonomi masyarakat Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung sudah sedemikian menyatu, khususnya yang tinggal berdekatan dengan perbatasan kota. Kondisi ini dicirikan oleh penduduk yang dalam pergerakannya cenderung memusat ke Kota Bandung baik untuk kegiatan ekonomi dan sosial. Karena itu, sebenarnya memisahkan secara administratif untuk kegiatan ekonomi Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung relatif sulit karena keduanya secara empiris saling berkaitan yang melebur (aglomerasi) dalam kesatuan daerah Bandung Metropolitan.
Gambar 1. Kontribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandung
dan Sekitarnya terhadap Ekonomi Jawa Barat Tahun 2006
dan Sekitarnya terhadap Ekonomi Jawa Barat Tahun 2006
Kawasan Bandung Metropolitan memiliki peranan yang signifikan dalam perekonomian Jawa Barat. Kawasan Bandung Metropolitan memberikan kontribusi sebesar 21% dari total PDB Jawa Barat, dimana Kota Bandung sendiri memiliki kontribusi terbesar yakni 10,03% dari perekonomian Jawa Barat. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung juga tergolong tinggi, atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dan bahkan nasional. Pada tahun 2006 tingkat pertumbuhan ekonomi Kota Bandung mencapai 7,83% dan diperkirakan pada tahun 2007 mencapai 8,24%. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa Kota Bandung adalah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang penting di Jawa Barat maupun di Indonesia.
STRUKTUR EKONOMI KOTA BANDUNG
Nilai PDRB Kota Bandung pada tahun 2007 adalah sebesar Rp.51,3 trilyun dengan tingkat PDRB per kapita sebesar Rp.22.640.000,-. Tingkat pendapatan perkapita ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Aktivitas ekonomi Kota Bandung, sebagian besar bersumber dari dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memberikan kontribusi sekitar 36,4% dari seluruh kegiatan ekonomi di Kota Bandung, disusul oleh sektor industri pengolahan sekitar 29,8%. Sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi sekitar 10,8% demikian juga dengan sektor jasa-jasa. Pembentukan investasi di Kota Bandung pada tahun 2007 mencapai Rp.5,4 trilyun, meningkat dari tahun sebelumnya Rp.4,2 trilyun.
Sebagai pusat perekonomian Jawa Barat dan sekaligus sebagai kota tujuan wisata dan pendidikan, aktivitas ketenagakerjaan di Kota Bandung pada umumnya adalah pada sektor jasa dan perdagangan. Pada tahun 2007, 36,7% penduduk Kota Bandung bekerja pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sebanyak 24,9% tenaga kerja Kota Bogor bekerja di sektor jasa yang meliputi jasa pemerintahan umum dan swasta.
Nilai PDRB Kota Bandung pada tahun 2007 adalah sebesar Rp.51,3 trilyun dengan tingkat PDRB per kapita sebesar Rp.22.640.000,-. Tingkat pendapatan perkapita ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Aktivitas ekonomi Kota Bandung, sebagian besar bersumber dari dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memberikan kontribusi sekitar 36,4% dari seluruh kegiatan ekonomi di Kota Bandung, disusul oleh sektor industri pengolahan sekitar 29,8%. Sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi sekitar 10,8% demikian juga dengan sektor jasa-jasa. Pembentukan investasi di Kota Bandung pada tahun 2007 mencapai Rp.5,4 trilyun, meningkat dari tahun sebelumnya Rp.4,2 trilyun.
Sebagai pusat perekonomian Jawa Barat dan sekaligus sebagai kota tujuan wisata dan pendidikan, aktivitas ketenagakerjaan di Kota Bandung pada umumnya adalah pada sektor jasa dan perdagangan. Pada tahun 2007, 36,7% penduduk Kota Bandung bekerja pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sebanyak 24,9% tenaga kerja Kota Bogor bekerja di sektor jasa yang meliputi jasa pemerintahan umum dan swasta.
gambar 3. Kontribusi Sektor Ekonomi dan Persentase Serapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi Kota Bandung Tahun 2007 (%)
Pada tahun 2007 Tingkat Pengganguran Terbuka (TPT) di Kota Bandung mencapai 21,92%, yang jauh lebih tinggi dibandingkan TPT Jawa Barat yang mencapai 13,08% pada tahun 2007. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa perekonomian Kota Bandung telah terintegrasi dengan perekonomian daerah sekitarnya (Metropolitan Bandung).
Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kota Bandung
ndriakbar.blogspot.com/2010/01/ekonomi-wilayah-sosial-budaya-kota.html
- Semarang
Tingkat pendapatan penduduk Kota Semarang yang didekati dengan ukuran pengeluaran menunjukkan adanya peningkatan baik secara nominal maupun riil
Perkembangan kesejahteraan penduduk salah satunya dapat diukur melalui perkembangan tingkat pendapatan. Secara umum, selama periode 2007-2009 tingkat kesejahteraan penduduk di Kota Semarang mengalami peningkatan seperti yang ditunjukkan oleh semakin meningkatnya tingkat pengeluaran perkapita sebagai pendekatan dari pendapatan. Pengeluaran nominal per kapita penduduk meningkat dari 436.905 rupiah pada tahun 2007 menjadi 672.101 rupiah pada tahun 2009.
Perkembangan tingkat kesejahteraan juga dapat diamati berdasarkan perubahan persentase pengeluaran yang dialokasikan untuk non-makanan, dimana semakin tinggi persentase pengeluaran non-makanan dapat mengindikasikan adanya perbaikan tingkat kesejahteraan. Berdasarkan data yang tersedia, terlihat bahwa persentase pengeluaran untuk non-makanan selalu lebih besar daripada pengeluaran makanan. Namun demikian persentasenya berfluktuatif, sebagai gambaran pada tahun 2007 alokasi pengeluaran non makanan mencapai 58,38 persen naik menjadi 62,94 persen (2008) dan terakhir pada tahun 2009 turun lagi menjadi 56,73 persen.
Indikator kesejahteraan lain adalah tingkat kecukupan gizi yang disajikan dalam unit kalori dan protein. Kecukupan energi dan protein untuk tingkat konsumsi sehari-hari berdasarkan Widyakarya Pangan dan Gizi ke-8 tahun 2004 masing-masing sebesar 2000 kkal dan 52 gram protein. Secara rata-rata konsumsi kalori masyarakat Kota Semarang masih sedikit di bawah standar, namun konsumsi protein sudah berada di atas standar yang ditetapkan.
Perkembangan tingkat kesejahteraan juga dapat diamati berdasarkan perubahan persentase pengeluaran yang dialokasikan untuk non-makanan, dimana semakin tinggi persentase pengeluaran non-makanan dapat mengindikasikan adanya perbaikan tingkat kesejahteraan. Berdasarkan data yang tersedia, terlihat bahwa persentase pengeluaran untuk non-makanan selalu lebih besar daripada pengeluaran makanan. Namun demikian persentasenya berfluktuatif, sebagai gambaran pada tahun 2007 alokasi pengeluaran non makanan mencapai 58,38 persen naik menjadi 62,94 persen (2008) dan terakhir pada tahun 2009 turun lagi menjadi 56,73 persen.
Indikator kesejahteraan lain adalah tingkat kecukupan gizi yang disajikan dalam unit kalori dan protein. Kecukupan energi dan protein untuk tingkat konsumsi sehari-hari berdasarkan Widyakarya Pangan dan Gizi ke-8 tahun 2004 masing-masing sebesar 2000 kkal dan 52 gram protein. Secara rata-rata konsumsi kalori masyarakat Kota Semarang masih sedikit di bawah standar, namun konsumsi protein sudah berada di atas standar yang ditetapkan.
Perkembangan pengeluaran per kapita
Kota Semarang (Rp/bulan)
Kota Semarang (Rp/bulan)
http://henamarga.net63.net/pengeluaran_pend.html
- D.I Yogyakarta
Perkembangan
kependudukan di Daerah rstimewa Yogyakarta selama
Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I menunjukkan makin menurunnya laju pertumbuhan penduduk dari 1,10
persen per tahun dalam periode 1971-1980 menjadi 0,57 persen per tahun
dalam periode 1980-1990. Dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk di
wilayah Jawa Bali dan di tingkat nasional yang masing-masing sebesar 1,65
persen per tahun dan 1,97 persen per tahun dalam periode 1980-1990, laju
pertumbuhan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk cukup rendah.
Tingkat kemiskinan di Provinsi DIY menduduki urutan ke-24 dari 33 provinsi di Indonesia. Meski begitu, indeks kesejahteraan masyarakat di DIY justru menduduki nomor satu se-Indonesia.
Kepala Bappeda DIY, Tavip Agus Rayanto mengatakan, kondisi itu terjadi karena banyak masyarakat DIY berada di garis abu-abu di mana kriteria miskin yang hanya selisih sekitar Rp50.000 dalam penghasilan memengaruhi data tersebut. pertanian dan kehutanan Tingkat kesejahteraan petani dalam bidang pertanian di propinsi ini yang diukur dengan nilai tukar petani dapat menjadi salah satu indicator yang menunjukan tingkat kesejahteraan petani di suatu wlayah. Pada tahun 2000 NTP sebesar 112,74%.dan hutan di propinsi ini didominasikan oleh hutan produksi.
http://ivaahdila.blogspot.com/2012/05/tingkat-kesejahteraan-wilayah.html
www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/8760/1732/
- surabaya
Surabaya yang berada di wilayah pesisir dekat dengan Jembatan Suramadu. Penduduk pada Kecamatan Bulak adalah masyarakat yang bermatapencaharian sektor non-perkotaan sebagai nelayan. Dimana selama ini diketahui matapencaharian sektor non-perkotaan menjadi salah satu indikasi rendahnya tingkat kesejahteraan. Selain itu Kecamatan Bulak yang strategis juga banyak menarik minat penduduk Pulau Madura untuk bermigrasi dan tinggal di Kecmatan Bulak. Perpindahan penduduk dari Pulau Madura tersebut menjadi faktor pertambahan jumlah penduduk di Kecamatan Bulak, disamping pertambahan dari faktor penduduk asli Kecamatan Bulak.
Menengok kembali pernyataan Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan manusiameningkat secara eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika. Fenomena yang pernah digambarkan oleh Malthus pada tahun 1798 tersebut kini banyak dijumpai. Dapat pula digunakan untuk menggambarkan keadaan Kecamatan Bulak, Surabaya. Pada suatu penelitian tentang ketahanan pangan di kampung nelayan Kecamatan Bulak yang dilakukan oleh Saudi Imam Besari pada tahun 2010 yang menggunakan beberapa variabel untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan di Kecamatan Bulak. Variabel yang digunakan adalah variabel demografi seperti usia pada tahun tersebut, usia pada saat pertama kali melaut, pendidikan terakhir, dan status kependudukan. Sedangkan variabel non-demografi dalam penelitian itu selanjutnya disebut sebagai variabel ketahanan pangan yang terdiri dari pendapatan melaut, pendapatan rumah tangga, pengeluaran rumah tangga, sisa pendapatan, kondisi rumah tinggal nelayan, sanitasi rumah (ketersediaan MCK), bahan bakar memasak, cara memperoleh makanan pokok, cara memperoleh lauk pauk kualitas, pangan yang dikonsumsi, frekuensi makan dalam sehari, dan jumlah alat tangkap yang dimiliki.
Hasil akhir dari penelitian tersebut dapat terlihat gambaran umum mengenai kondisi kesejahteraan secara realita dari masyarakat nelayan Kecamatan Bulak. Pada pendapatan total masyarakat nelayan Kecamatan Bulak pada umumnya adalah Rp 1.000.000–Rp 2.000.000. pengeluaran pangan mayoritas adalah Rp 500.000-Rp 1.000.000, sedangkan untuk non-pangan adalah sebesar kurang dari Rp 500.000. kondisi rumah mayoritas adalah rumah permanen namun kurang didukung sanitasi yang baik dan lengkap. Pendidikan terakhir nelayan di Kecamatan Bulak adalah mayoritas Sekolah Dasar dan hampir semua nelayan memiliki alat tangkap ikan sendiri.
Angka pada pendapatan dan pengeluaran pada mayoritas tidak jauh berbeda dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di kampung nelayan Kecamatan Bulak Surabaya. Matapencaharian utama sektor non-perkotaan sebagai nelayan kurang mampu untuk menopang seluruh kebutuhan keluarga masyarakat nelayan. Ditambah lagi dengan pada tahun 2009 perairan Selat Madura mengalami overfishing lebih dari 12% sehingga produktivitas perikanan Selat Madura menurun dari tahun ke tahun. Jika regulasi untuk membatasi jumlah nelayan dan armada kapal yang melaut yang pernah diusulkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur jadi disahkan maka masyarakat kampung nelayan Kecamatan Bulak akan kebingungan untuk mencari sumber pendapatan yang lain. Karena mayoritas mereka hanya mengandalkan hasil melaut serta tingkat pendidikan terakhir dan keterampilan yang kurang menjadikan mereka akan sulit mencari pendapatan dari sektor-sektor lain. Untuk itu selain mengandalkan hasil melaut yang saat ini mulai tidak stabil, masyarakat nelayan sebaiknya mulai beradaptasi dengan memperhatikan sector pendapatan lain yang sesuai dengan kemampuan dan yang mampu untuk menopang kebutuhan pada saat mereka tidak melaut. Salah satu pendukung masyarakat untuk beradaptasi mencari pendapatan selain melaut adalah mudahnya aksesbilitas menuju pusat-pusat kota hingga setidaknya sebagian besar indikator-indikator dari FAO (Food Agriculture Organization) untuk ketahanan pangan sebagian besar dapat terpenuhi dengan baik, seperti kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi berarti dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aksesbilitas atau keterjangkauan terhadap pangan, dan kualitas atau keamanan pangan. Jika satu-persatu indikator tersebut terpenuhi maka harapan masyarakat nelayan Kecamatan Bulak telah mampu menuju adaptasi matapencaharian selain melaut, ketahananpangan dan kesejahteraan yang semakin membaik.http://dwiindah2.blogspot.com/2013/12/tantangan-masyarakat-pesisir-menuju.html.
- Jakarta
JAKARTA. Tingkat kesejahteraan masyarakat di kawasan Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi (Jabodetabek) terus membaik dibandingkan dengan kuartal II. Perbaikan tingkat kesejahteraan ini telah akibat terjadinya peningkatan pendapatan rumah tangga.
Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kesejahteraan warga Jabodetabek berdasarkan indeks tendensi konsumen mencapai level 110,67. Level ini lebih tinggi dibandingkan kuartal kedua yang hanya 105,32. "Rata-rata, pendapatan rumah tangga meningkat, karena faktor tunjangan hari raya," kata Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Slamet Sutomo saat jumpa pers, Jumat (5/11).
Indeks tendensi konsumen mempunyai nilai antara 0-200. Semakin besar nilainya, konsumen semakin sejahtera. Umumnya, nilai indeks tendensi konsumen berada di kisaran 100. Bila dibawah 100, berarti kesejahteraan semakin menurun. Sementara, bila diatas 100, konsumen semakin banyak mengeluarkan uang untuk berbelanja karena pendapatan rumah tangga yang meningkat. Variabel indeks tendesi konsumen adalah tingkat konsumsi terhadap beberapa komoditi makanan seperti daging, ikan susu, dan buah-buahan. Kemudian, konsumsi nonmakanan, seperti biaya pendidikan, perumahan seperti listrik, telepon, dan air, serta transportasi, juga rekreasi. Selain itu, juga karena faktor pengaruh inflasi yang rendah. "Indeks inflasi hanya 104,4, paling rendah dibandingkan dengan varibel yang lain," tandas Slamet.
http://dwiindah2.blogspot.com/2013/12/tantangan-masyarakat-pesisir-menuju.html.
- Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Timur memiliki tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah dibandingkan provinsi lain di indonesia. Pada tahun 2010, tingkat kepadatan penduduknya adalah sebesar 18,18 jiwa per km2. namun, angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di kota-kota utama provinsi ini, yaitu Kota Balikpapan, Kota samarinda, Kota Tarakan, serta Kota bontang yang memiliki tingkat kepadatan diatas 700 orang per km2. Kondisi ini sangat berbeda dengan tingkat kepadatan penduduk kabupaten yang masih di bawah 50 jiwa per km2.Tingkat kepadatan penduduk tertinggi pada tahun 2010 dimiliki Kota Balikapapan dengan angka 1.105,61 jiwa per km2, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Malinau dengan kepadatan hanya sebesar 1,57 jiwa per km2.
Terdapat peningkatan iPM di Provinsi Kalimantan Timur dari 68,58 pada tahun 2009 menjadi 69,15 pada tahun 2010. Daerah yang memiliki iPM tertinggi pada tahun 2010 adalah Kota Balikpapan dengan 78,33 dan yang terendah ada di Kab. Tana Tidung dengan angka 71,42. Berdasarkan data BPs tahun 2009 dan 2010, dari 2 kota di Provinsi Kalimantan Timur yang dipantau inflasinya, Kota Balikpapan memiliki laju inflasi tahunan lebih rendah dibandingkan Kota samarinda pada tahun 2009, namun memiliki tingkat inflasi bulan Desember yang lebih tinggi. Kota Balikpapan memiliki tingkat inflasi tahunan sebesar 3,54% , sedangkan tingkat inflasi tahunan di Kota samarinda adalah 3,99%. sementara itu, laju inflasi di Kota Balikpapan pada Bulan Desember sebesar 0, 31%, sedangkan di Kota samarinda adalah 0,26%. Untuk tahun 2010, Kota Balikpapan memiliki laju inflasi lebih tinggi dibandingkan Kota samarinda baik untuk bulan Desember maupun tahunan.Berdasarkan data BPs tahun 2009-2011, jumlah pengangguran mengalami peningkatan namun tingkat pengangguran terbuka (TPT) berkurang setiap tahunnya. Pada tahun 2009, jumlah pengangguran adalah 158.224 orang, meingkat menjadi 166.557 orang tahun 2010 , dan meningkat lagi menjadi sebesar 173.693 pada tahun 2011. sementara itu, TPT tahun 2009 adalah 10.83% kemudian menurun menjadi 10.10, dan trus turun lagi menjadi 9,84%. sektor perikanan di Provinsi Kalimantan Timur menghasilkan produksi ikan seberat 306.621 ton yang seberat 194.918 atau 64% adalah perikanan darat dan sisanya
perikanan laut. Kab. Kutai Kertanegara paling dominan dalam menghasilkan ikan laut, perikanan perairan umum, ikan tambak, ikan kolam dan ikan karamaba. Kab. nunukan merupakan penghasil terbesar untuk ikan budidaya pantai.
www.djpk.kemenkeu.go.id/.../17.%20KALIMANTAN%20TIMUR.pdf
- Papua
Lantunan syair lagu “Kota Ambon ibu negeri tanah Maluku …” merupakan refleksi keindahan dan keluhuran budaya Kota Ambon yang telah dikenal sejak jaman dahulu kala. Tanah Maluku yang merupakan kawasan lintasan jalur vulkanik, menyimpan kekayaan alam, sehingga mengundang bangsa-bangsa lain untuk datang dan memanfaatkannya. Seiring dengan itu, dinamika sosial dan ekonomi masyarakat tumbuh dan berkembang di sentra-sentra kegiatan ekonomi, terutama di Kota Ambon. Dinamika yang terjadi dengan naungan budaya yang kondusif telah menjadi fondasi yang kokoh bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di berbagai bidang dari waktu ke waktu.
Namun, konflik berkepanjangan yang berlangsung beberapa waktu lalu telah meluluhlantakkan sendi-sendi budaya yang telah terbangun, dan sekaligus merontokkan pula derajat kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat Maluku, khususnya di Kota Ambon. Kondisi Kota Ambon seolah- seperti suatu “kota mati” yang ditinggalkan. Begitu banyak permasalahan yang harus diselesaikan, padahal masih banyak persoalan pembangunan sistemik yang tersisa sebelum terjadinya konflik. Sebagai akibatnya, proses pemulihan terasa sangat berat dan tertatih-tatih. Dengan titik awal yang telah tertinggal, Kota Ambon masih harus memulihkan dirinya, sebelum mulai mengejar ketertinggalan pembangunan dengan wilayah lainnya yang telah berada dalam kondisi prima.
Pertanyaannya adalah apakah Kota Ambon bisa melakukannya? Apakah jati diri Kota Ambon bisa ditegakkan kembali, tidak dengan sekedar memperbaiki citra melalui aktivitas berpublikasi luas, namun benar-benar diwujudnyatakan dalam bentuk perbaikan kesejahteraan rakyat? Patut kita berikan kesempatan kepada Walikota dan segenap jajarannya beserta seluruh penduduk Kota Ambon untuk menjawabnya! Sambil memberikan peluang tersebut, mari bersama-sama kita cermati gambaran kondisi kesejahteraan penduduk Kota Ambon berdasarkan indikator yang relevan.
Kemiskinan
Kondisi kemiskinan di Kota Ambon pada tahun 2007 lebih baik jika dibandingkan dengan seluruh Kabupaten di Provinsi Maluku dan juga rata-rata nasional. Demikian pula dengan angka Poverty Gap Index atau Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Poverty Severity Index atau Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang lebih baik dari rata-rata Provinsi Maluku maupun nasional. Angka P1 dan P2 yang rendah membuktikan tingkat kesenjangan atau ketimpangan yang rendah di antara penduduk miskin dengan garis kemiskinan dan dengan sesame penduduk miskin. Fakta ini mengindikasikan bahwa penanganan penduduk miskin di Kota Ambon telah melalui jalur yang tepat. Bravo!
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007
Kabupaten/Kota
|
Penduduk Miskin
|
P1
|
P2
|
Garis Kemiskinan
(Rp/Kap/Bulan)
| |
Jiwa (x1.000)
|
Persen
(%)
| ||||
Kab. Maluku Tenggara Barat
|
68,3
|
44,15
|
8,99
|
2,68
|
150.560
|
Kab. Maluku Tenggara
|
48,8
|
35,98
|
9,45
|
3,44
|
174.889
|
Kab. Maluku Tengah
|
118,7
|
36,03
|
7,47
|
2,40
|
190.324
|
Kab. Buru
|
40,9
|
31,34
|
5,93
|
1,69
|
176.085
|
Kab. Kep. Aru
|
25,9
|
36,88
|
8,77
|
2,94
|
157.799
|
Kab. Seram Bag. Barat
|
53,6
|
37,85
|
9,67
|
3,36
|
159.116
|
Kab. Seram Bag. Timur
|
31,8
|
39,83
|
7,60
|
2,06
|
151.145
|
Kota Ambon
|
16,8
|
6,51
|
1,31
|
0,32
|
160.798
|
Provinsi Maluku
|
404,7
|
31,14
|
6,38
|
1,84
|
179.552
|
Indonesia
|
37.168,3
|
16,58
|
2,99
|
0,84
|
166.697
|
Sumber: BPS.
Apabila dilihat dari struktur pendidikan, maka diketahui bahwa sebanyak 42,1 persen penduduk miskin di Kota Ambon berpendidikan lebih rendah dari Sekolah Dasar SD. Penduduk miskin lainnya sebanyak 29,78 persen tamat SD atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan 28,11 persen berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau lebih tinggi. Tergambar bahwa masih terdapat tantangan untuk memperbaiki akses pendidikan dasar bagi penduduk Kota Ambon yang tergolong miskin.
Seluruh penduduk miskin di Kota Ambon ternyata telah memasuki lapangan kerja, meskipun 37,02 persen diantaranya bekerja di sektor informal. Proporsi terbesar penduduk miskin justru bekerja di sektor formal, yaitu 62,98 persen. Maknanya adalah bahwa sektor-sektor formal di Kota Ambon belum mampu menyediakan tingkat pendapatan yang memadai bagi penduduk. Atau dengan kata lain, penduduk bekerja dengan upah yang relatif rendah, bahkan hanya untuk sekedar menjangkau garis kemiskinan yang tercatat Rp 160.798 per kapita per bulan.
Mayoritas penduduk miskin di Kota Ambon, yaitu 76,91 persen bekerja bukan di sektor pertanian. Hanya 23,09 persen penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Fakta ini merupakan fenomena alamiah yang pada umumnya bisa ditemui di wilayah perkotaan.
Rata-rata penduduk Kota Ambon menggunakan 48,14 persen dari pendapatannya untuk membeli beragam bahan makanan. Penduduk miskin diketahui mempunyai proporsi pengeluaran per kapita untuk membeli makanan yang lebih tinggi, yaitu mencapai 68,11 persen. Adapun penduduk yang tidak tergolong miskin rata-rata hanya menggunakan 47,75 persen dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Pembangunan Manusia
Kualitas manusia mencerminkan komitmen Pemerintah Kota Ambon dalam meningkatkan kapasitas dasar dan kualitas hidup penduduk. Kota Ambon dalam konteks ini patut berbangga, karena menjadi salah satu daerah yang masuk dalam kategori pembangunan manusia tertinggi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada tahun 2007, Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Ambon sebesar 77,5, tercatat menempati urutan pertama jika dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya di KTI bersama-sama dengan Kota Palangkaraya. Secara nasional IPM Kota Ambon berada pada posisi ke-8, yang berarti naik tiga tingkat dari urutan ke-11 pada tahun 2006. Suatu prestasi yang perlu diapresiasi!
Tabel 2. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia
Antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia Tahun 2007
Kawasan Barat Indonesia
|
Kawasan Timur Indonesia
| ||
Kabupaten/Kota
|
IPM
|
Kabupaten/Kota
|
IPM
|
IPM Tertinggi
|
IPM Tertinggi
| ||
Kota Jakarta Selatan
|
78,5
|
Kota Palangkaraya
|
77,5
|
Kota Yogyakarta
|
78,1
|
Kota Ambon
|
77,5
|
Kota Jakarta Timur
|
78,1
|
Kota Makassar
|
77,3
|
Kota Jakarta Barat
|
77,9
|
Kota Manado
|
76,8
|
Kota Depok
|
77,9
|
Kota Balikpapan
|
76,6
|
IPM Terendah
|
IPM Terendah
| ||
Kabupaten Situbondo
|
62,6
|
Kabupaten Asmat
|
49,5
|
Kabupaten Pamekasan
|
62,5
|
Kabupaten Mappi
|
49,0
|
Kabupaten Probolinggo
|
61,0
|
Kabupaten Boven Digoel
|
48,7
|
Kabupaten Bondowoso
|
60,8
|
Kabupaten Yakuhimo
|
48,3
|
Kabupaten Sampang
|
57,0
|
Kabupaten Peg. Bintang
|
47,4
|
Sumber: BPS.
Apabila dikaji berdasarkan komponen-komponen pembentuk IPM, maka diketahui bahwa penduduk Kota Ambon memiliki usia harapan hidup cukup panjang, yaitu mencapai 72,66 tahun pada tahun 2007. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata usia harapan hidup di tingkat Provinsi Maluku maupun nasional, yaitu masing-masing 66,80 tahun dan 68,70 tahun. Angka harapan hidup mencerminkan kualitas kesehatan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa derajat kesehatan penduduk di Kota Ambon relatif cukup baik.
Dalam hal pendidikan, data yang tersedia menunjukkan bahwa persentase penduduk Kota Ambon yang telah dapat membaca dan menulis atau melek huruf mencapai 99,19 persen. Berarti bahwa hanya 0,81 persen penduduk yang tergolong buta huruf. Persentase angka melek huruf di Kota Ambon lebih tinggi dibandingkan rata-rata Provinsi Maluku, yaitu 98,00 persen, dan jauh di atas rata-rata nasional, yaitu 91,87 persen.
Potret angka melek huruf sejalan dengan indikator pendidikan lainnya, yaitu rata-rata lama sekolah. Penduduk Kota Ambon rata-rata bersekolah selama 11,09 tahun atau memasuki jenjang SLTA. Kondisi ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan rata-rata Provinsi Maluku dan nasional. Rata-rata penduduk Provinsi Maluku hanya bersekolah selama 8,6 tahun, sedangkan rata-rata penduduk Indonesia hanya bersekolah 7,47 tahun atau setara dengan SLTP. Pencapaian di bidang pendidikan ini perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan di masa-masa yang akan datang.
Tabel 2. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota
di Provinsi Maluku Tahun 2007
Kabupaten/Kota
|
AHH (Tahun)
|
AMH
(%)
|
RLS
(Tahun)
|
PPRD
(Rp)
|
IPM
|
Peringkat
|
Kab. Maluku Tg.Barat
|
63,73
|
99,34
|
8,51
|
583.870
|
67,14
|
364
|
Kab. Maluku Tenggara
|
67,40
|
99,52
|
8,74
|
605.250
|
71,04
|
188
|
Kab. Maluku Tengah
|
65,33
|
98,62
|
8,10
|
603.210
|
69,06
|
279
|
Kab. Buru
|
66,75
|
92,80
|
7,20
|
598.040
|
67,49
|
349
|
Kab. Kep. Aru
|
67,11
|
98,80
|
7,50
|
593.780
|
68,91
|
286
|
Kab. Seram Bg. Barat
|
66,21
|
98,00
|
8,20
|
587.530
|
68,28
|
313
|
Kab. Seram Bg. Timur
|
65,21
|
97,93
|
7,60
|
573.520
|
66,18
|
390
|
Kota Ambon
|
72,66
|
99,19
|
11,09
|
629.060
|
77,46
|
8
|
Provinsi Maluku
|
66,80
|
98,00
|
8,60
|
601.260
|
69,96
|
18
|
Indonesia
|
68,70
|
91,87
|
7,47
|
624.370
|
70,59
|
-
|
Sumber: BPS.
Keterangan:
AHH = Angka Harapan Hidup; AMH = Angka Melek Huruf; RLS = Rata-Rata Lama Sekolah;
PPRD = Pengeluaran Per Kapita Riil Disesuaikan.
Kesejahteraan penduduk Kota Ambon secara relatif juga cukup baik sebagaimana terlihat dari pengeluaran per kapita riil disesuaikan yang mencapai Rp 629.060. Jumlah pengeluaran ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Provinsi Maluku yang hanya Rp 601.260 per kapita. Bahkan, masih lebih baik dibandingkan pengeluaran per kapita riil di tingkat nasional, yaitu Rp 624.370. Pengeluaran per kapita riil menggambarkan daya beli atau kemampuan masyarakat untuk membeli beragam barang dan jasa. BPS menggunakan 27 jenis kebutuhan pokok sebagai dasar untuk menghitung pengeluaran per kapita riil disesuaikan atau purchasing power parity (PPP).
Berdasarkan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, patut diakui bahwa proses pemulihan pembangunan di Kota Ambon telah berada pada jalur yang benar. Tantangan yang dihadapi adalah menjaga agar proses yang dilalui dapat berjalan secara konsisten dan akseleratif. Selain itu, langkah-langkah konkrit pembenahan pada tingkat mikro, seperti tata kota, perlu terus dilakukan secara intensif.
http://robertoakyuwen.blogspot.com/2010/09/kota-ambon-sudahkah-kau-pulih-kondisi.html